Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra




Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra -Sebelum memulai perjalanan anda menuju pemahaman tentang sistem tulisan Braille dan menggunakanya, penting bagi anda untuk belajar sedikit tentang sejarah upaya untuk mengembangkan sebuah sistem tulisan bagi orang tunanetra. Terdapat sejumlah dokumentasi yang membuktikan bahwa sejak tahun 1640 para innovator dan pendidik telah berupaya menciptakan materi yang akan memungkinkan orang tunanetra terlibat dalam kegiatan membaca dan menulis. Bahkan pemahaman mendasar tentang latar belakang historis ini pun penting untuk alasan berikut ini: terdapat cukup banyak inovasi yang telah dan sedang dikembangkan akir-akhir ini, pada umumnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, yang dapat berdampak besar terhadap cara orang tunanetra membaca dan menulis. Apakah pengembangan inovasi tersebut akan mengakibatkan berakhirnya penggunaan Braille sebagai salah satu cara utama untuk memproduksi bahan-bahan cetakan bagi tunanetra? Argumennya adalah bahwa pemahaman tentang perkembangan media cetak, yang mengarah pada penggunaan Braille saat ini, merupakan kata kunci untuk mengikuti dan memahami diskusi yang ada dewasa ini tentang bagaimana bahan-bahan cetakan akan diproduksi pada abad ke-21.
  
Usaha untuk menciptakan tulisan bagi orang tunanetra telah dimulai sekurang-kurangnya 16 abad yang lalu, ketika seorang cendekiawan tunanetra Jepang pada abad ke-4 mengukir huruf-huruf pada kayu dan mendirikan sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk menghimpun karya-karyanya itu (Tarsidi, 1988). Pada tahun 1676, seorang tunanetra Katolik di Roma, Italia, bernama Francesco Terzi, menciptakan sejenis “abjad tali”. Dia membentuk huruf-huruf dari berbagai variasi simpul tali, dan menggunakan abjad talinya itu untuk mentranskripsikan kitab Injil. Seorang musisi wanita tunanetra dari Wina, Maria Theresa von Paradis, (lahir tahun 1741), belajar membaca dengan alat bantu berupa paku-paku yang ditancapkan pada sebuah bantalan untuk membentuk huruf-huruf. Dengan cara ini dia berhasil belajar membaca partitur musik (Andersen, 2000).

Hingga awal abad ke-19, orang masih memusatkan usaha membantu tunanetra belajar membaca dan menulis itu dengan memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan menggunakan berbagai macam cara dan bahan seperti tali-temali, potongan-potongan logam, kayu, kulit, lilin atau kertas, tetapi hasilnya masih jauh dari memuaskan. Kesemua cara ini memiliki ciri yang sama, yaitu memerlukan bahan yang sulit dibuat atau sukar dimanipulasi sehingga tidak cocok sebagai media komunikasi. Misalnya, orang tidak mungkin membawa begitu banyak balok kayu untuk memungkinkanya berkomunikasi secara tertulis dengan orang lain secara efisien. Kriteria standar yang sangat penting bagi suatu bentuk teknologi komunikasi adalah mudah diproduksi, permanen, mudah difahami, dan mudah dibawa-bawa (portable).

Hauy

Salah satu upaya yang paling terkonsentrasi untuk menciptakan sistem tulisan bagi tunanetra terjadi di Paris pada tahun 1780-an. Valentin Hauy (1745-1822), pendiri dan direktur sekolah pertama bagi tunanetra di dunia, menghasilkan huruf-huruf timbul pada kertas tebal yang dapat diraba dan dibaca dengan ujung-ujung jari. Untuk menghasilkan huruf timbul tersebut, pertama-tama dia membuat cetakan huruf dari logam. Huruf-huruf pada cetakan tersebut dibentuk terbalik. Kertas tebal yang sudah dibasahi diletakkan di atas cetakan tersebut. Sebuah "pena" yang bermata bundar dari logam digoreskan di atasnya mengikuti bentuk huruf pada cetakan di bawahnya. Setelah kertas itu dikeringkan, kini huruf-huruf timbul telah terbentuk pada kertas tersebut. Buku pertama menggunakan teknik penimbulan huruf ini diterbitkan pada tahun 1787 yang berisikan essay tentang pendidikan bagi anak tunanetra (Shodorsmall, 2000).

Gagasan untuk menghasilkan huruf yang ditimbulkan ini muncul secara kebetulan. Franqois Lesueur, seorang anak laki-laki tunanetra, adalah murid pertama Hauy sebelum sekolahnya itu berdiri secara resmi. Pada suatu hari, ketika Lesueur sedang membereskan kertas di meja kerja Hauy, jarinya merasakan ada sebuah tonjolan pada salah satu lembaran kertas itu: kesan sebuah huruf pada sisi belakang sebuah kartu ucapan bela sungkawa yang baru dicetak. Lesueur bertanya kepada gurunya itu apakah kesan yang dirasakan oleh jarinya itu adalah huruf “o”. Memang benar, dan kejadian ini memunculkan pemahaman pada diri Hauy bahwa jika jari-jari tangan seorang anak tunanetra dapat mendeteksi sebuah huruf yang sedikit timbul akibat tekanan yang tidak disengaja, maka jari-jari itu pasti dapat mengenali huruf-huruf dengan baik apabila huruf-huruf itu sengaja dibuat timbul. Hauy menguji pemikirannya tersebut dengan mencetak berlembar-lembar teks dengan huruf yang ditimbulkan. Lesueur ternyata dapat membedakan setiap huruf, dan dalam waktu enam bulan dia mampu membaca dan menulis. Kemampuan Lesueur tersebut dipertunjukkan di hadapan para anggota the Royal Academy of Sciences demi memperoleh persetujuan mereka dan izin dari pemerintah Perancis untuk membuka sekolah bagi anak tunanetra. Pada tahun 1784 sekolah tersebut resmi berdiri dengan nama L’Institute Nationale des Jeunes Aveugles, dengan 14 orang murid pertama, dengan Hauy sebagai kepala sekolah dan Franqois Lesueur sebagai asistennya (Koestler, 1984).

Salah satu tujuan Hauy dalam mendidik anak-anak tunanetra adalah sedapat mungkin mempertahankan kesamaan antara cara belajar anak tunanetra dan anak awas. Teorinya adalah bahwa media dan teknologi pendidikan bagi siswa tunanetra seyogyanya tidak menyimpang secara signifikan dari media dan teknologi pendidikan yang dipergunakan oleh siswa-siswa yang awas.

Sistem tulisan timbul yang digagas oleh Hauy itu mengalami sejumlah modifikasi, sebagian oleh Hauy sendiri dan sebagian lainnya oleh orang lain.

Moon

Kurun waktu dari tahun 1825 hingga 1835 tampaknya merupakan masa di mana terdapat kegiatan yang universal untuk menciptakan dan mencetak tulisan timbul. di Inggris ada Gall, Alston, Moon, Fry, Frere, dan Lucas, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan mempunyai pendukungnya masing-masing, dan di Amerika ada Friedlander, Howe dan lain-lain (Shodorsmall, 2000). Tampaknya yang paling menonjol di antara mereka adalah Dr. William Moon, seorang tunanetra Inggris. Pada tahun 1845 dia menciptakan sebuah sistem huruf timbul yang menggunakan abjad Romawi, dengan beberapa huruf dimodifikasi atau disederhanakan. Prinsip yang digunakannya adalah bahwa sedapat mungkin huruf timbul itu sama dengan bentuk aslinya (abjad Romawi) tetapi harus mudah dikenali dengan perabaan. Dalam abjad Moon ini, , 8 huruf tetap sama, 14 huruf disederhanakan, dan 5 huruf dirancang sama sekali baru. Sistem Moon ini dipergunakan oleh relatif banyak orang tunanetra untuk jangka waktu yang cukup panjang. Abjad ini masih dipergunakan hingga awal abad ke-20.
Gambar 1.1: Abjad Moon (dikutip dari http://www.brl.org/)

            Pada dasarnya sistem Hauy dan sistem Moon ini adalah tulisan awas (tulisan biasa) yang diperbesar dan dibuat timbul pada kertas. Keuntungan utama menggunakan abjad ini adalah bahwa tulisan ini dapat dibaca oleh orang tunanetra maupun orang awas. Kelemahannya adalah orang tunanetra tidak dapat membacanya dengan cepat sehingga sangat tidak efisien sebagai media penyerap informasi.

Barbier

Yang mendasari sistem tulisan Braille yang kita kenal sekarang ini adalah sistem titik-titik timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang perwira artileri Napoleon. Pada tahun 1815, dalam peperangan Napoleon, Barbier menciptakan tulisan sandi yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis timbul yang dinamakannya "tulisan malam". Dia menggunakan tulisan ini untuk memungkinkan pasukannya membaca perintah-perintah militer dalam kegelapan malam dengan merabanya melalui ujung-ujung jari. Sistem ini didasarkan atas metodologi fonetik (atau sonografi). Setiap kata diuraikan menjadi bunyi, dan setiap bunyi dilambangkan dengan konfigurasi titik-titik dan garis-garis tertentu (Davidson, 2005; Shodorsmall, 2000). Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang diletakkan pada sebuah cetakan dari logam. Alat yang inovatif ini masih bertahan hingga kini sebagai alat tulis Braille yang paling banyak dipergunakan. Di Indonesia, alat ini disebut “pen” dan “reglet”. (Penjelasan lebih lanjut tentang reglet dan pen ini akan anda jumpai pada Kegiatan Belajar 1.4).

            Sistem Barbier tidak dimaksudkan sebagai alat pendidikan bagi anak tunanetra ataupun untuk memungkinkan orang tunanetra berkomunikasi secara tertulis. Barbier adalah seorang insinyur di angkatan darat Perancis. Motivasinya adalah menciptakan metode untuk mengirim pesan rahasia yang dapat dibaca dalam kegelapan malam (dengan perabaan); dan oleh karena itu sistem Barbier ini disebut “tulisan malam”. Namun demikian, Barbier tertarik untuk memperkenalkannya kepada orang tunanetra; maka pada tahun 1820 dia mempresentasikan mnetodenya itu di lembaga pendidikan tunanetra di Paris. Pada awalnya anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang dengan tulisan ini: lebih mudah dikenali dengan ujung-ujung jari. Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa sistem tulisan malam ini memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak membedakan huruf kapital dan huruf kecil, tidak ada tanda-tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca; membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari. Tulisan malam mungkin efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”, tetapi tidak bagus dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra (Davidson, 2005).

Description: Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra


Shares News - 2:28 AM
Read More Add your Comment 0 comments