Sejarah Perkembangan
Sistem Braille-Sistem tulisan bagi tunanetra yang kita kenal sekarang ini diberi
nama penciptanya, yaitu Braille. Louis Braille lahir pada tanggal 4 Januari
1809 di Coupvray, sebuah kota
kecil sekitar 40 kilometer di sebelah timur Paris. Dia menjadi buta pada usia tiga tahun
sebagai akibat kecelakaan dengan pisau milik ayahnya yang seorang pembuat
pelana kuda. Ayahnya menyekolahkannya di sekolah biasa di daerah tempat
tinggalnya, dan dia membantunya dengan membuat tulisan yang dapat dibacanya,
yaitu dengan membentuknya dari paku-paku yang ditancapkan pada papan kayu. Pada
usia sepuluh tahun, Louis dimasukkan ke sekolah khusus bagi tunanetra di paris,
di mana dia bertemu dengan Kapten Charles Barbier dan diperkenalkan dengan
sistem tulisan Barbier.
Louis Braille menyadari bahwa sistem Barbier kurang baik sebagai
media baca/tulis, tetapi dia sangat menyukai gagasan penggunaan titik-titik
untuk tulisan bagi tunanetra; maka setelah pertemuannya dengan Charles Barbier,
Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat
titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan
yang cocok bagi tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya
itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari
kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia
memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan
garis-garis bagi tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah titiknya
dari dua belas hanya menjadi enam saja. Akan tetapi modifikasi yang paling penting
adalah bahwa sistem tulisannya itu tidak didasarkan atas metodologi sonografi
melainkan didasarkan atas sistem abjad Latin dalam bentuk yang berbeda –
menggunakan titik-titik timbul dengan konfigurasi yang unik.
Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an,
setelah bereksperimen dengan inovasinya itu selama lebih dari sepuluh tahun,
sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis
Braille hanya menggunakan enam titik “domino” sebagai kerangka sistem tulisannya
itu – tiga titik ke bawah dan dua titik ke kanan (lihat gambar 1.2). Untuk
memudahkan pendeskripsian, tiga titik di sebelah kiri diberi nomor 1, 2 dan 3
(dari atas ke bawah), dan tiga titik di sebelah kanan diberi nomor 4, 5 dan 6.
Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat
membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad,
angka, tanda-tanda baca, matematika, musik, dan lain-lain.
Gambar 1.2: Kerangka Abjad Braille
|
Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem tulisannya
itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institute Nationale des Jeunes Aveugles
(Lembaga Nasional untuk Anak-anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh
Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia
dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata bahasa Perancis,
dan musik.
Ketika sistem tulisannya sudah cukup sempurna, dia mulai
mencobakannya kepada murid-muridnya. Mereka menyambutnya dengan gembira dan
sangat merasakan manfaatnya. Meskipun Dr. Pignier, kepala lembaga itu,
mengizinkan sistem tulisan itu dipergunakan dalam pengajaran di sekolah itu,
namun tak seorang pun di luar lembaga itu mau menerima keberadaannya. Karena
mereka belum pernah melihat betapa baiknya sistem tulisan ini, mengajarkan
tulisan yang berbeda dari tulisan umum dianggapnya sebagai sesuatu yang amat
ganjil dan tidak masuk akal. Karena badan pembina lembaga itu pun tidak
menyukai sistem tulisan ini, maka mereka memecat Dr. Pignier ketika ia merencanakan
menyalin buku sejarah ke dalam braille.
Kepala yang baru, Dr. Dufau tidak menyetujui sistem Braile itu dan
melarang keras penggunaannya.
Karena murid-muridnya telah mengetahui kebaikan tulisan Braille itu,
mereka tidak kurang kecewanya daripada Braille sendiri. Maka mereka meminta
Braille mengajarnya secara diam-diam. Demi murid-muridnya itu, dia setuju
mengajar mereka di luar jam sekolah.
Karena guru dan semua murid di dalam kelas itu tunanetra, maka
tidaklah mustahil bagi guru guru lain untuk mengintip kelas rahasia itu dan
memperhatikannya tanpa mereka ketahui. Kepala staf pengajar, Dr. Guadet, sering
mengamati pelajaran rahasia ini dengan penuh minat dan simpati. Setelah melihat
betapa cepatnya murid-murid itu memahami pengajaran yang disampaikan oleh
Braille itu, maka Dr. Guadet mengimbau kepada Dr. Dufau agar mengubah
pendiriannya dan mengizinkan penggunaan sistem tulisan itu. Akhirnya Dr. Dufau
sejuju, dan menjelang tahun 1847 Louis Braille kembali dapat mengajarkan
ciptaannya itu secara leluasa.
Pada tahun 1851 Dr. Dufau mengajukan ciptaan Braille itu kepada
Pemerintah Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan
pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa. Tetapi, hingga dia
meninggal pada tanggal 6 Januari 1852, tanda jasa ataupun pengakuan resmi
terhadap ciptaannya itu tidak pernah diterimanya. Baru beberapa bulan setelah
wafatnya, ciptaan Louis Braille itu diakui secara resmi di L'Institute
Nationale des Jeunes Aveugles, dan beberapa tahun kemudian dipergunakan di
beberapa sekolah tunanetra di negara-negara lain. Baru menjelang akhir abad
ke-19 sistem tulisan ini diterima secara universal dengan nama tulisan
"Braille".
Tulisan Braile dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda pada
awal abad ke-20. Braille diajarkan di Blinden Instituut, sebuah lembaga
tunanetra yang didirikan oleh Dr. Westhoff pada tahun 1901 di Bandung. Setelah melalui beberapa kali
perubahan nama, kini lembaga tersebut bernama Panti Sosial Bina Netra Wyata
Guna yang berada di bawah Departemen Sosial
RI. Di kompleks yang sama berdiri
juga Sekolah Luar Biasa bagi Tunanetra yang secara administratif berada di
bawah Departemen Pendidikan Nasional RI.
Kini, sudah lebih dari satu setengah abad sejak tulisan braille itu
tercipta dengan sempurna, namun kemajuan teknologi masih belum dapat menyaingi
kehebatannya. Bahkan akhir-akhir ini tulisan braille sekali lagi telah
membuktikan kesempurnaannya karena dengan mudah dapat diadaptasikan untuk
keperluan transmisi informasi dari alat-alat pengolah data seperti komputer dan
bahkan juga telepon seluler.
Untuk mengenang jasanya yang tak terhingga itu, pada tahun 1956 The
World Council for the Welfare of the Blind (Dewan Dunia untuk Kesejahteraan
Tunanetra) menjadikan bekas rumah kediaman Louis Braille yang terletak di
Coupvray, 40 km sebelah timur Paris,
sebagai museum Louis Braille. Karena pada tahun 1984 WCWB melebur diri dengan
International Federation of the Blind (Federasi Tunanetra Internasional)
menjadi World Blind Union (Perhimpunan Tunanetra Dunia), maka sejak tahun itu
pemeliharaan dan penngembangan museum ini menjadi tanggung jawab WBU.
Anda membaca artikel Sejarah Perkembangan Sistem Braille dan anda bisa menemukan Anchor Text artikel Sejarah Perkembangan Sistem Braille dengan url https://braillemodul.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-sistem-braille.html.
Backlink here..
Description:
Sejarah Perkembangan Sistem Braille
Rating:
4.5
Reviewer:
seputarwisata.com -
ItemReviewed:
Sejarah Perkembangan Sistem Braille
Share your views...
0 Respones to "Sejarah Perkembangan Sistem Braille"
Post a Comment